Sabtu, 11 Desember 2010


Sejarah Histamin
       Histamin dan asetilkolin mempunyai persamaan sejarah yaitu disentesis secara kimia lebih dahulu sebelum dikenal sifat-sifat biologiknya. Keduanya pertama kali diisolasi dari ekstrak ergot. Histamin dan asetilkolin kemudian terbukti dihasilkan oleh bakteri yang mengkontaminasi ergot. Pada awal abad 19 histamin dapat diisolasi dari jaringan hati dan paru-paru segar. Histamin juga ditemukan pada bebrapa jaringan tubuh maka dari itu diberi nama histamin (histos=jaringan). Kemudian terbukti bahwa pada penggoresan kulit dilepaskan zat yang sifatnya mirip histamin (H-subtance) yang kemudian terbukti histamin.

Farmakodinamik
Reseptor Histamin
       Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamin dibagi menjadi histamin 1 (H1) dan histamin 2 (H2). Pengaruh histamin terhadap sel dari berbagai jaringan tergantung pada fungsi sel dan rasio reseptor H1: H2.
       Aktivasi reseptor H1 menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, dan sekresi mukus. Histamin juga berperan sebagai neurotransmiter dalam susunan saraf pusat.
       Aktivasi reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung. Selain itu juga berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan flushing. Histamin menstimulasi sekresi asam lambung, meningkatkan kadar cAMP dan menurunkan kadar cGMP, sedangkan antihistamin H2 memblokade efek tersebut. Pada otot polos bronkus aktivasi reseptor H1 oleh histamin menyebabkan bronkokonstriksi sedangkan aktivasi reseptor H2 oleh agonis reseptor H2 akan menyebabkan relaksasi.
        Setelah itu telah ditemukan pula reseptor H3, berfungsi menghambat saraf kolinergik dan non kolinergik yang merangsang sauran nafas. Blokade terhadap reseptor ini membatasi terjadinya bronkokonstiksi yang diinduksi oleh histamin.

ANTIHISTAMIN
       Setelah diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses faalan dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamin. Epinefrin merupakan antagonis faalan pertama yang digunakan. Antara tahun 1937-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda.Yang digolongkan Antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1) adalah antergan, neoantergan, difenhidramin dan tripelenamin dalam dosis terapi efektif mengobati udem, eritem dan pruritus.
         Sesudah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru, yaitu burimamid, metiamid, dan simetidin yang dapat menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Kedua jenis ini bekerja secara kompetetif yaitu dengan menghambat interaksi histamin dan reseptor histamin H1 atau H2.




Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1)
Farmakologi
Antagonis Terhadap Histamin
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pengelepasan histamin endogen berlebihan.

Otot Polos
Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamin pada otot polos (usus, bronkus). Bronkokonstriksi akibat histamin dapat dihambat oleh AH1 pada percoabaan dengan marmot.

Permeabilitas kapiler
Peninggian permeabilitas kapiler dan udem akibat histamin, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
Reaksi anafilaksis dan alergi
Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1. Efektivitas AH1 melawan reaksi hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.

Histamin eksokrin
Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat mencegah asfiksi pada marmot akibat histamin, tetapi hewan ini mungkin mati karena AH1 tidak mencegah perforasi lambung akibat hipersekresi cairan lambung. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin.

Susunan Saraf Pusat
AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek Perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia, gelisa, dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga dapat terjadi pada keracunan AH1. Dosis terapi AH1 umunya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Golongan etanolamin misalnya difenhidramin paling jelas menimbulkan kantuk, akan tetapi kepekaan pasien berbeda-beda untuk masing-masing obat.
Antihistamin yang relatif baru misalnya terfenadin, astemizol, tidak atau sedikit menembus sawar darah otak sehingga pada kebanyakan pasien biasanya tidak menyebabkan kantuk, gangguan koordinasi atau efek lain pada SSP. Obat-obat tersebut digolongkan sebagai antihistamin nonsedatif. Dalam golongan ini termasuk juga loratadin, akrivastin, mequitazin, setirizin, yang data klinisnya masih terbatas. AH1 juga efektif untuk mengobati mual dan muntah akibat peradangan labirin atau sebab lain.

Anastesi Lokal
Beberapa AH1 bersifat anestik lokal dengan intensitas berbeda. AH1 yang baik sebagai anastesi lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi dari pada sebagai antihistamin.

Antikolinergenik
Banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untuk terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan impotensi. Terfenadin dan astemizol tidak berpengaruh terhadap reseptor muskarinik.

Sistem Kardiovaskular
Dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek yang berarti pada sistem kardiovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti kuinidin pada konduksi miokard berdasarkan sifat anastetik lokalnya.

Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul 15-30 menit dan minimal 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah pemberian dosis tunggal kira-kira 4-6jam. Untuk gol. klorsiklizir 8-12 jam, Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira 2jam berikutnya. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru. Tempat utama biotransformasi AH1 adalah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.

Efek samping
     Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling sering adalah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasin yang dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur.
     Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insimnia dan tremor. Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare. Efek samping ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.
     Efek samping yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek antikolinergenik tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.
     AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan lokal berupa dermatitis alergik.Demam dan fotosentivitas juga pernah dilaporkan terjadi. AH1 sangat jarang menimbulkan komplikasi berupa leukopenia dan agranulositosis.

Intoksikasi akut AH1
     Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering terdapat sebagai obat persediaan rumah tangga. Pada anak, keracunan terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak.
     Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pada anak kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol. Gejala lain mirip gejala keracunan atropin misalnya midriasis, kemerahan dimuka dan sering timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa, manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada pemulaan, kemudian eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut. 

Pengobatan
Pengobatan diberikan secara simtomatik dan suportif karena tidak ada antidotum spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh barbiturat. Pernafasan biasanya tidak mengalami gangguan yang berat dan tekanan darah dapat dipertahankan secara baik. Bila terjadi gagal nafas, maka dilakukan nafas buatan, tindakan ini lebih baik daripada memberikan analeptik yang justru akan mempermudah timbulnya konvulsi. Bila terjadi konvulsi, maka diberikan tiopental atau diazepam.

Perhatian 
Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan alkohol, obat penenang atau hipnotik sedatif.

Penyakit Alergi
      AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut mislnya pada polinosis dan urtikaria.Sifatnya bersifat paliatif membatasi dan menghambat efek histamin yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak berpengaruh terhadap itensitas reaksi antigen-antibodi yang merupakan penyebab berbagai gangguan alergik. Keadaan ini dapat diatasi hanya dengan menghindari alergen, desentitasi atau menekan reaksi tersebut dengan kortikosteroid. AH1 tidak dapat melawan reaksi alergi akibat peranan autakoid lain. Asma bronkial terutama disebabkan oleh SRS-A atau leukotrien sehingga AH1 saja tidak efektif. AH1 dapat mengatasi asma bronkial ringan bila diberikan sebagai profilaksis. Untuk asma bronkial berat, aminofilin epinefrin, dan isoproterenol merupakan pilihan utama.Epinefrin merupakan obat terpilih untuk mengatasi krisis alergi karena epinefrin : lebih efektoh daripada AH1, efeknya lebih cepat, merupakan antagonis fisiologik dari histamin dan autakoid lainnya. 
       AH1 dapat menghilangkan bersin, rinore dan gagal pada mata, hidung dan tenggorokan pada pasien seasonal hay fever. AH1 efektif terhadap alergi yang disebabkan debu, tapi kurang efektif bila jumlah debu banyak dan kontraknya lama, AH1 tidak efektif pada rinitis vasomotor. Manfaat AH1 untuk mengobati batuk pada anak dengan asma diragukan karena AH1 mengentalkan sekresi bronkus sehingga dapat menyulitkan ekspektorasi. Kadang-kadang AH1 dapat mengatasi dermatitis kontak, dan gigitan serangga.

Antihistamin Penghambat Reseptor H2 (AH2)  
Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap sekresi cairan lambung, perangsangan jantung serta relaksasi uterus tikus dan bronkus domba. Beberapa jaringan seperti otot polos, pembuluh darah mempuntai kedua reseptor yaitu H1 dan H2.

Simetidin Dan Ranitidin 
Farmakodinamik 
Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan H2 akan merangsang sekresi cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh fisiologi simetidin dan ranitidin terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Walau tidak lengkap simetidin dan renitidin dapat menghambat sekresi cairan lambung akibat perangsangan obat muskarinik atau gastrin. Semitisin dan ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin juga menurun.

Farmakokinetik
     Biovailabilitas oral simetidin sekitar 70%. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam.
      Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati.Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral dan yang terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.

Efek Samping 
     Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2. Beberapa efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain : nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mula, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten.
     Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap peninggian prolaktin ini kecil.

Interaksi Obat 
      Antasid dan metoklopramid mengurangi biovailabilitas oral simetidin sebanyak 20-30%. Ketakonazol harus diberikan 2jam sebelum pemberian simetidin karena absorpsi ketakonazol berkurang sekitar 50% bila diberikan bersama simetidin. Selain itu ketakonazol membutuhkan pH lebih tinggi yang terjadi pada pasien yang juga mendapat AH2
     Simetidin terikat sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim mikrosom hati, jadi obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama simetidin. Obat yang metabolismenya dipengaruhi simetidin adalah arfarin, karbamazepin, diazepam, propranolol, metaprolol dan imipramin.
     Ranitidin jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan simetidin akan tetapi makin banyak obat dilaporkan berinteaksi dengan ranitidin yaitu nifedifin warfarin, teofilin, dan metaprolol. Ranitidin dapat menghambat absorbsi diazepam dan dapat mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25%. Obat-obat ini diberikan dengan selang waktu minimal 1 jam sam a dengan penggunaan ranitidin  bersama abtasid atau antikolinergik.
     Simetidin dan ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga akan memperlambat bersihan obat lain. Simetidin dapata menghambat alkohol dehidrigenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan kadar alkohol serum. Simetidin juga mengganggu disposisi dan meningkatkan kadar lidokoin serta meningkatkan antagonis kalsium dalam serum. Simetidin dapat menyebabkan berbagai gangguan SSP terutama pada pasien usia lanjut atau dengan penyakit hati atau ginjal. Gejala ganggua slurredspeech, somnolen, letargi, gelisah, bingung, disorentasi, agitasi, halusinasi, dan kejang. Gejala seperti demensia dapat timbul pada penggunaan simetidin bersama obat psikotropik atau sebagai efek samping simetidin. Ranitidin menyebabkan gangguan SSP ringan karena sukarnya melewati sawar darah otak.
     Efek samping simetidin yang jarang terjadi adalah trombositopenia, granulositopenia, toksisitas terhadap ginajal atau hati. Pemberian simetidin dan ranitidin IV sesekali menyebabkan bradikardi dan efek kardiotoksik lain.

Indikasi
     Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Penghambatan 50% sekresi asam lambung dicapai bila kadar simetidin plasma 800ng/ml atau kadar renitidin plasma 100 ng/ml. Tetapi yang lebih penting adalah efek penghambatannya selama 24jam. Simetidin ranitidin atau antagonis reseptor H2 mempercepat penyembuhan tungkak duodenum. Pada sebagian besar pasien pemberian obat-obatan tersebut sebelum tidur dapat mencegah kekambuhan tukak duodeni bila obat diberikan sebagai terapi pemeliharaan.
     AH2 sama efektif dengan pengobatan intensif dengan antasid untuk penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Untuk refluks esofagitis seperti halnya dengan antasid antagonis reseptor H2 menghilangkan gejalanya tetapi tidak menyembuhkan lesi.
     Terhadap tukak peptikem yang diinduksi oleh obat AINS, AH2 dapat mempercepat penyembuhan tetapi tidak dapat mencegah terbentuknya tukak. Pada pasien yang sedang mendapat AINS antagonis reseptor H2 dapat mencegah kekambuhan tukak duodenum tetapi tidak bermanfaat untuk tukak lambung.
      Simetidin dan ranitidin talah digunakan dalam penelitian untuk stress ulcer dan perdarahan, dan ternyata obat-obat tersebut lebih bermanfaat untuk profilaksis daripada untuk pengobatan. AH2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison . Dalam hal in i mungkin lebih baik digunakan ranitidin untuk mengurangi kemungkinan timbulnya efek samping obat akibat besarnya dosis simetidin yang diperlukan. Ranitidin juga lebih baik dari simetidin untuk pasien yang mendapat banyak obat, pasien yang refrakter terhadap simetidin, pasien yang tidak tahan efek samping simetidin dan pada pasien usia lanjut.

Famotidin
Farmakodinamik
Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambungpada keadaan basal, malam dan akiabt distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.

Indikasi
Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Pada penelitian selama 6 bula famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis bermakna. Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger-Ellison meskipun untuk keadaan ini omeprazol merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidin untuk profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis dan pencegahan tukak stres pada saat ini sedang diteliti.

Efek Samping
Efek samping biasanya ringan dan jarng terjadi misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi, dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik daripada simetidin karena belum pernah dilaporkan terjadinya efek antiandrogenik. Famotidin harus digunakan hati-hati pada ibu menyusui karena obat ini belum diketahui apakah obat ini diekskresi kedalam air susu ibu.

Interaksi Obat
Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat lain belum belum dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat. Famotidin tidak mengganggu oksidasi diazepam feofilin, warfarin atau fenitoin di hati. Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga kurang efektif bial diberikan bersama AH2.

Farmakokinetik
Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan biovaibilitas 40-50%, Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.

Intravena 
Pada pasien hipersekresi asam lambung tertentu atau pada pasien yang tidak dapat diberikan sediaan oral, faotidin diberikan intravena 20 mg tiap 12 jam. Dosis obat untuk pasien harus ditritasi berdasarkan jumlah asam lambung yang disekresi. 

Nizatidin
Farmakodinamik
Potensi nitazidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih sama dengan ranitidin.

Indikasi
Efektvitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya dapat menyembuhkan tukak duodeni dalam 8 minggu dan dengan pemberian satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Pada refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison dan gangguan asam lambung lainnyan nizatidin siperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun masih diperlukan pembuktian lanjut.

Efek Samping
Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek smaping. Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transaminase serum ditemukan pada beberapa pasien dan nampaknya tidak menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Pada tikus nizatidin dosis besar berefek antiandrogrnik, tetapi efek tersebut belum terlihat pada uji klinik. Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada mukosa lambung dan menyebabkan kadar alkohol yang lebih tinggi dalam serum. Dalam dosis ekuivalen simetidin, nizatidin tidak menghambat enzim mikrosom hati yang metabolisme obat. Pada sukarelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya interaksi obat bila nitazidin diberikan bersama feofilin, lidokain, warfarin, klordiazepoksid, diazepam atau lorezepam. Ketakonazol yang membetuhkan pH asam menjadi kurang efektiftif bila pH lambung lebih tinggi pada pasien yang mendapat AH2.

Farmakokinetik
Biovailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh makanan atau antikolinergik. Bersihan menurun pada pasien uremik dan usia lanjut. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1jam, masa paruh plasma sekitar 2 1/2 jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin diekskresi terutama melalui ginjal 90% dari dosisi yang digunakann ditemukan di urin dalam 16 jam. 

PEMILIHAN SEDIAAN
     Banyak golongan AH1 yang digunakan dalam terapi tetapi efektivitasnya tidak banyak berbeda, perbedaan antara jenis obat hanya dalam hal potensi, dosis, efek samping dan jenis sediaan yang ada. Sebaiknya dipilih AH1 yang efek terapinya lebih besar dengan efek samping seminimal mungkin, tetapi belum ada AH1 yang ideal seperti ini. Selain ditentukan berdasarkan potensi terapeutik dan beratnya efek samping pemilihan sediaan perlu dipertimbangkan berdasarkan adanya variasi antar individu. Karena itu perlu dicoba dan diperhatikan efek yang menguntungkan dan efek samping apa yang timbul akibat pemberian AH1.
      Untuk pegangan dalam terapi, disajikan penggolongan AH1 dengan lama kerja. Walaupun antagonis reseptor H2 lebih kuat menghambat sekresi asam lambung daripada terapi intensif dengan antasida pada pasien esofagitis refluks, tukak lambung, tukak duodeni atau pencegahan tukak lambung akibat stress. Antagonis reseptor H2 disediakan sebagai obat alternatif untuk pasien yang tidak memberikan respons baik terhadap pengobatan antasida jangka panjang.

Daftar Pustaka
Katzung G.Bertran.2002.Farmakologi dasar dan Klinik.Buku c Edisi 8.Salemba Medika ; Jakarta